Kamis, 30 April 2009

Panasnya Semarang


Dapat tugas ke Ungaran lagi, sendiri! Senang juga sih, secara pada kesempatan yang lalu belum sempet jalan-jalan ke Semarang kota. Padahal antara Ungaran sama Kota Semarang cuma berjarak 1/2 jam perjalanan kalo pake kendaraan. Sengaja berangkat lewat jalur Selatan, karena pengen mampir ke Solo dulu. Lagian perjalanan lewat selatan lebih bisa dinikmati, dari pada lewat pantura. Tau kan jalan pantura gimana?
Sampai terminal Tirtonadi Solo jam 12 malam. Langsung saja cari penginapan terdekat. Nggak susah, karena di sekitar terminal lumayan banyak penginapan. Lumayan murah. Sekedar buat transit dan melepas penat, kupikir nggak masalah lah, yang penting bersih. Abis bersih-bersih diri, langsung ngorok, zzzzzzzzzzz! Maklum donk, abis menempuh perjalanan selama 9 jam!
Jam 6 pagi, cabut dari penginapan. Sebelumnya sudah janji sama rekan di lokasi tujuan mo datang jam 9-an. Nggak enak kan kalo telat. Alhamdulilah dapat bus patas pertama yang menuju Semarang. Tapi sial, nggak lama setelah keluar terminal, bus mogok dan harus ganti bus berikutnya. Waduh, mudah-mudahan bukan pertanda sial saja, pikirku dalam hati. Untung nggak lama, bus berikutnya datang, jadi perjalanan nggak terlalu lama tertunda. Masuk Salatiga, pemandangan mulai indah. Daerah pegunungan dengan hawa yang sejuk memang selalu menyenangkan.
Lebih cepat 1/2 jam dari waktu janjian saat sampai di lokasi tujuan. Dapat kesan rajin gitu deh. Acara di sana selesai jam 10.30. Kesempatan buat jalan-jalan ke Kota Semarang! Paling tidak nyempetin beli oleh-oleh buat teman kantor. Sama temen disarankan naik mini bus agar bisa turun di Simpang Tugu. Saran sudah kujalankan, tapi setelah sekian lama perjalanan kok bus nggak masuk kota? Waduh, busnya bermasalah nih, kok malah langsung bablas lewat tol menuju terminal Terboyo. Ya udah, sekalian saja turun terminal. Sial dua kali hari ini! Udah gitu, serasa stres pas masuk terminal. Terminal level propinsi kok masih kayak gini? Panas, semrawut, kotor, bau, dan air menggenang di mana-mana! Lho, ini terminal atau empang ya?
Nggak pake lama berada di terminal, langsung cari bus jurusan Simpang Lima.
Sampai di Simpang Lima, aku turun dan ganti naik becak menuju pusat oleh-oleh di sepanjang jalan Pandanaran. Ya Allah, Semarang Panas banget! Perasaan, Surabaya saja yang menurutku sudah panas, masih kalah panas. Udah gitu, semrawutnya bikin pusing! Tau kayak gini, niatku jalan-jalan langsung ilang. Selesai belanja oleh-oleh (Bandeng dan lumpia, wajib hukumnya dibeli), langsung aku cabut balik lagi ke terminal. Berhubung tempat naik bus kota yang ke arah terminal Terboyo dekat sama Lawang Sewu, capture dulu lah salah satu icon Kota Semarang tersebut. Lumayan buat bukti kalau sudah pernah nyampai sana.

Selasa, 21 April 2009

Petirtaan Jalatunda


Sudah lama banget saya pengen ke Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman di Trawas-Mojokerto, sejak temenku dulu cerita kalo tempatnya bagus. Kita malah sempet berencana mau ke sana bareng. "Di sana ada pusat pelatihan pembuatan barang daur ulang", katanya. Seneng saja dengernya. Apalagi waktu itu, adalah awal maraknya daur ulang. Terlebih, beberapa bulan yang lalu saya membaca artikel tentang komunitas sehat indonesia yang berpusat di PPLH Seloliman. Jadi bertambah minat saya untuk segera pergi ke sana.
Nah, dua minggu yang lalu kesempatan itu datang. Sampai juga saya ke sana. Tapi sebenarnya waktu itu saya tidak berencana mau ke sana. Ceritanya, saya dan teman ada keperluan ke Surabaya. Pulangnya, seperti biasa kami lewat Gempol. Nah, waktu kami sampai di pertigaan Kejapanan, terlihatlah papan petunjuk lokasi PPLH Seloliman. Langsung deh kami berniat ke sana saat itu juga. Mumpung belum terlalu sore. Apalagi cuma 15 km jaraknya.
Tidak terlalu sulit untuk sampai ke lokasi PPLH Seloliman. Tapi pada saat sudah sampai di lokasi, tepat di depan pintu gerbangnya, kami justru ragu, kok sepi ya? Akhirnya kami memutuskan untuk tidak jadi masuk, tapi malah meneruskan perjalanan ke atas, sampai di petilasan Jalatunda.
Petilasan Jalatunda, lebih tepatnya petirtaan Jalatunda adalah peninggalan jaman Raja Erlangga. Diperkirakan dulu adalah tempat peristirahatan beliau. Petirtaan Jalatunda berupa bangunan batu berukir layaknya candi yang di sebalah kanan dan kirinya terdapat pancuran air. Sementara di sebelah depan terdapat kolam yang airnya berasal dari pancuran air tersebut. Kolam tersebut penuh berisi beberapa jenis ikan air tawar. Memang tampak lebih indah. Tapi kok malah jadi tidak enak ya bau airnya?
Amis!
Ngomongin masalah air pancuran tadi, konon kabarnya bagi yang sudah mandi di sana akan tetap awet muda. Percaya nggak percaya sih. Tapi kalau kita sudah merasakan segarnya air pancuran tersebut, (tentunya kami juga mencoba mandi di situ) masuk akal juga sih kabar tersebut. Air tersebut berasal dari mata air yang berada di lereng Gunung Penanggungan pada ketinggian 525 m dpl. Jadi wajar kalau airnya masih jernih dan bersih.
Di depan kolam tadi terdapat beberapa arca dan
lumpang batu kuno serta potongan-potongan batu berukir yang disusun rapi dalam satu area. Kemungkinan batu-batu tersebut adalah bagian-bagian dari candi. Di dekat lokasi tersebut terdapat bangunan tertutup yang di dalamnya banyak disimpan batu-batu maupun arca yang kemungkinan juga bagian dari candi kuno (sengaja disimpan terkait dengan nilai sejarahnya mungkin). Sementara pada dinding bangunan tersebut terdapat beberapa foto artefak yang pernah ditemukan di lokasi tersebut).
Di bagian agak ke atas, terdapat bangunan pendopo terbuka yang dijadikan tempat istirahat bagi para pengunjung. Tidak salah jika dulu Raja Erlangga menjadikan tempat itu sebagai tempat istirahat. Lokasinya nyaman buat kita untuk sejenak meninggalkan suasana ramai dan bising di kota, termasuk kami. Meskipun tidak jadi berkunjung ke PPLH Seloliman, tapi kami puas kok. Suasa saat, pasti kami kembali, tidak ke petirtaan Jalatunda, tapi ke PPLH Seloliman.

Senin, 20 April 2009

Sambal Cibiuk


Akhir bulan lalu kami dapat tugas kantor ke Bandung. Wuih senengnya! Akhirnya nyampe juga ke Bandung lagi, setelah terakhir saya ke sana bulan Maret tahun lalu. Kami berenam, memilih naik kendaraan sendiri dari pada naik kereta, dengan pertimbangan akan lebih leluasa berkeliling, disamping karena harus mampir dulu ke Pati pulangnya. Tidak banyak yang berubah dari Bandung, tetap indah dan macet! Setelah tugas kantor selesai, rugi dong kalo nggak jalan-jalan, apalagi waktunya masih ada. Dan, belanja pasti hukumnya wajib kalo lagi di Bandung. Pasar baru, Dago, dan Cihampelas habis kita obrak-abrik. Hehehe... Emang Satpol lagi tugas!
Pulang dari Bandung, kita memutuskan lewat jalur utara. Disamping karena memang mau ke Pati, kami juga pingin mampir ke Sumedang untuk cari Tahu Sumedang yang fresh from open! Muas-muasin beli tahu sumedang, kami jadi lupa kalo belum makan sejak keluar dari Bandung. Akhirnya, perlahan kami jalan sambil lirik kanan-kiri cari tempat makan. Chiiiiittt!!! Mobil di-rem mendadak, takkala kami melihat Rumah Makan Sambal Cibiuk di seberang kanan jalan. Saya langsung ingat acara kuliner di Trans TV yang mengupas makanan yang satu ini. Hm, pasti enak nih. Entah lah ini lagi di Desa Cibiuk atau tidak. Tapi setahu saya, Desa Cibiuk ada di Garut.
Wuih keringat langsung ngocor setelah makan. Pedes pisan euy! pantesan, cabe rawitnya menumpuk! Rasanya sedikit aneh sih, tapi tetap hendos gandos lah. Ketika saya coba tanya ke salah satu pelayan gimana resepnya, cuma jawaban nggak tau yang saya dapat. Rahasia dagang kali. Tapi kalo ditelaah dari rasanya, selain cabe rawit dan tomat sebagai komponen pokok, ada aroma kencur, jeruk nipis, kemangi, terasi dan bawang putih.
Untuk pendamping sambal cibiuk, kayaknya sama saja dengan lalapan khas Sunda lainnya. Ada Labu siam, daun sla, kacang panjang, dan mentimun. Lauknya bisa pilih ayam goreng, ikan goreng, ikan asin, tempe dan tahu goreng. Sambal cibiuk ada dua macam, sambal cibiuk hijau dan merah. Sama saja, bedanya cuma pengunaan tomatnya, tomat hijau atau tomat merah. Terserah tinggal pilih yang mana.

Eksotisme Pulau Sempu


Eksotis!
Itulah ungkapan pertama pada saat sampai di Segara Anakan, Pulau Sempu. Nggak salah jika, salah satu televisi swasta menayangkan lokasi ini dalam salah satu program acaranya. Segara Anakan, sebuah laut plus pasir putihnya dalam sebuah pulau. Dalam bahasa Jawa Segara berarti Laut, sedangkan Anakan berarti Anak/Kecil. Segara Anakan berair tenang, kontras dengan Samudra Hindia di luar pulau yang berombak besar. Air Segara Anakan bersumber dari deburan ombak Samudra Hindia yang masuk melalui lobang karang di salah satu sisi karang yang mengelilingi Pulau Sempu. Keindahan Segara Anakan terletak ada pada airnya yang tenang dan jernih, sehingga biota di dalamnya terlihat. Bentangan pasir putih di salah satu sisinya semakin menambah keindahan Segara Anakan.
Segara Anakan dapat dicapai setelah menempuh perjalanan kaki selama lebih kurang satu jam dalam hutan cagar alam Pulau Sempu. Buat mereka yang tidak terbiasa jalan kaki, pastilah akan merasa capek. Tapi jika kita menikmati idahnya isi hutan tersebut, dijamin nggak bakal capek. Nggak perlu takut nyasar, karena sudah ada jalur tracking. Takut binatang buas? Nggak usah takut! Berdasarkan pengalaman, jarang ditemui binatang buas dalam hutan Pulau Sempu.
Para pengunjung Segara Anakan, biasanya datang berkelompok untuk menginap di sana sambil mendirikan kemah, karena keindahan Segara Anakan semakin lengkap dinikmati saat malam hari dalam keheningan yang sepi terlebih saat bulan purnama, sambil menikmati ikan bakar.
By the way, Pulau Sempu terletak di kawasan wisata Pantai Sendang Biru di Malang Selatan. Lebih kurang 2 jam perjalanan kendaraan bermotor dari Kota Malang. Untuk mencapai Pulau Sempu, dari Sendang Biru kita bisa nyeberang sekitar 10 menit dengan menggunakan perahu motor atau perahu dayung yang banyak disewakan di sana. Biaya sewa perahu motor sekitar 100 ribuan. Ketika sampai di Pulau Sempu, kita tinggal janjian sama tukang perahunya, mau dijemput kapan. Mau Bawa ikan untuk di bakar di Segara Anakan? Jangan kuwatir! Kita bisa dengan mudah mendapatkannya di TPI atau yang dijajakan oleh nelayan. Dijamin masih seger!