Jumat, 29 Mei 2009

Madakaripura


Dengernya sih sudah lama, sejak SD! Pada pelajaran sejarah dulu pernah diterangkan kalau Air Terjun Madakaripura merupakan bagian dari sejarah kerajaan majapahit, kerajaan terbesar di nusantara. Konon, tempat ini sempat menjadi tempat petilasan Mahapatih Gajah Mada. Dari cerita temen-temen yang pernah ke sana, katanya bagus banget. Tapi lokasinya susah dijangkau katanya.
Nah, baru dua minggu kemarin kesampaian berkunjung ke Madakaripura. Dari beberapa referensi yang aku dapat, Madakaripura berada di daerah Sukapura, kecamatan terakhir sebelum ke Bromo dari Probolinggo. Jadi waktu berangkat, langsung saja menuju ke Sukapura. Tapi pas sampai di Sukapura dan nanya sama orang sana, ternyata lokasi Madakaripura berada di Kecamatan Lumbang. Nggak jauh sih dari Sukapura, cuma 10 menitan gitu. Dari pasar Lumbang sekitar 5 km jaraknya menuju Madakaripura. Ternyata jalan menuju sana bagus kok, tidak seperti kabar yang kudengar sebelumnya. Bahkan minibus juga bisa lewat.
Sampai di pintu masuk lokasi wisata madakaripura, kami disambut patung Patih Gajah Mada menghunus keris di atas monumen sumpah palapa. Retribusi masuk sebesar Rp 2.500,- per orang. Tapi kok nggak ada kupon retribusinya ya? Waduh gimana tuh pertanggungjawabannya?
Di lokasi parkir kendaraan, kita sudah "dijemput" para pemandu. Menuju lokasi air terjun kita wajib didampingi oleh seorang pemandu. Katanya biar nggak tersesat dan menjamin keselamatan kita karena sering terjadi longsor dan banjir mendadak. Mereka juga mau kok bawain barang bawaan kita. Ongkos buat pemandu tidak ditentukan besarnya, seikhlasnya tergantung kita.
Perjalanan menuju air terjun sangat mengasyikkan (menurutku), karena kita melewati aliran sungai dengan bebatuan yang besar dan airnya yang bening dan bersih sepanjang lebih dari 1 km. Sebagian tempat bebatuannya licin dan arus airnya deras dan berjeram. Jadi, itu lah perlunya didampingi pemandu. Pengennya sih waktu itu langsung mandi di situ, secara aku kalau ketemu air bawaannya pengen mandi hehehe. Tapi karena nggak enak sama si pemandunya dan pengen cepat sampai ke air terjun, keinginan mandinya ditunda dulu. Toh nanti di lokasi air terjun bisa mandi sepuasnya. Di sepanjang pinggir sungai, kita bisa menemukan penjual makanan, baik itu yang memakai tenda atau sekedar di bawah rimbunan pohon. Sebelum sampai di air terjun utama, ada beberapa air terjun kecil di beberapa tempat.
Untuk menuju air terjun utama, kita harus melewati tebing batu yang licin, jadi harus ekstra hati-hati. Tapi kesulitan tempuh tersebut, terbayar waktu sampai di lokasi air terjun Madakaripura. Indah banget! Sangat berbeda dari beberapa air terjun yang pernah aku kunjungi, seperti Grojogan Sewu, Baturraden maupun Coban Rondo. Debit airnya lebih besar dan curahan airnya lebih panjang. Berada ke Madakaripura, seakan kita berada di dasar sumur. Tebing batu tempat air terjun berbentuk tabung 3/4 lingkaran. Ini yang membedakan dengan air terjun lainnya. Di sebelah air terjun utama, ada ada air terjun yang lebih sedit debit airnya. "Air Keabadian" kata si pemandu. Konon di situ lah Patih Gajah Mada bersemedi. Waduh.gimana dinginnya ya bertahun-tahun berada di situ.
Agak susah ambil foto di situ, karena disamping tempatnya yang agak gelap, semburan airnya juga ke mana-mana, jadi ggak banyak foto yang bisa diambil. Lebih kurang setengah jam menikmati guyuran air terjun, si pemandu meminta kita segera keluar karena di atas air terjun terlihat mendung. Takut hujan turun, katanya. Kalau hujan sering longsor dan banjir. Pantas saja, di situ banyak gelondongan kayu berserakan. Bekas banjir dan longsoran dari atas mungkin. Demi keselamatan akhirnya nurut sama sama si pemandu. Belum puas sih, tapi gimana lagi, keselamatan lebih penting.


Sabtu, 16 Mei 2009

Tanah Lot, Pantai Atau Bukan?


Setelah tuntas ngelaksanain tugas di Bali selama 2 hari, hari ketiga pulang. Usai breakfast langsung check out meskipun masih jam 8 pagi. Biar perjalanan pulang agak nyantai, gitu! Lebih kurang 1 jam perjalanan kita nyampai Tabanan. Nah pas lihat board "Tanah Lot 40 km", kita putusin ke sana. Refresh dulu ah.
Tidak sulit sampai di Tanah Lot. Lancar jaya! Nah, karena masih pagi, pas sampai di sana masih sepi. Ya iya lah, secara memang baru buka, dan kita pengunjung pertama. Asyik, kita puas-puasin sendiri menikmati Tanah Lot!
Dibanding dengan lima tahun yang lalu, kondisinya lebih rapih dan bersih, terutama pasar wisatanya. Atau karena masih pagi dan kiosnya banyak yang belum buka?
Memasuki gapura pintu masuk ke lokasi pantai (?) keindahan Tanah Lot sudah terlihat. Birunya langit dan air laut yang membentang di atas pura seolah menyilakan setiap orang untuk segera menikmati keindahannya. Selamat datang di Pura Tanah Lot!
Keadaan di dalam juga masih sepi. Selain kami, ada sekelompok orang dengan kostum tradisional bali plus segala ubo rampe-nya menuju ke pura. Kemungkinan akan melaksanakan upacara. Ini lah kelebihan Tanah Lot. Disamping lautnya yang indah, pura di atas karang dengan segala ritual keagamaannya menjadi daya tarik tersendiri bagi orang untuk berkunjung ke sana. Apalagi pada saat menjelang sun rise dan sun set tiba.
Hampir semua bagian dari Tanah Lot kami telusuri. Maklum, lima tahun yang lalu waktu ke berkunjung ke sini, kami tidak sempat menikmati semua bagian dari Tanah Lot karena terbatasnya waktu. Namun setelah puas berkeliling, justru malah timbul pertanyaan. Sebenarnya Tanah Lot ini pantai atau bukan? Dikatakan pantai, tetapi kita tidak bisa menemukan bentangan pasir layaknya pantai-pantai lainnya. Ada sih pasir berwarna hitam, tapi jumlahnya sedikit, cuma di lokasi tertentu saja, tidak membentang di sepanjang tepi pantainya. Bagian yang menjadi tempat pecahnya gelombang di tepian dan tetap bisa kita nikmati airnya adalah berupa bebatuan karang yang landai. Sementara di bagian yang lain adalah tebing-tebing karang yang curam. tapi, apapun penyebutannya, Tanah Lot merupakan obyek wisata di Bali yang paling kesohor.
Puas menikmati keindahan Tanah Lot (tentunya dengan capture foto di berbagai bagian), kita belanja dulu di Pasar Wisata sebelum melanjutkan perjalanan pulang.

Jumat, 15 Mei 2009

Klungkung, Kota Kecil Nan Indah


Dapat tugas ke Bali? Sedap!
Ibaratnya, sambil menyelam minum air. Kerja iya, wisata hayuk.
Ceritanya, sebulan yang lalu bosku ada acara meeting di Sanur. Beliau ngajak aku, bukan untuk mendampingi meeting sih, tapi aku ditugasi ke DPRD Kabupaten Klungkung untuk sharing kerjaan selagi beliau meeting.
Ke Klungkung? Waduh, mana tahu itu di mana? Ke Bali aja baru sekali, itu pun rombongan wisata beberapa tahun yang lalu. Nah sekarang harus sendiri (maksudnya sama sopir) ke sana. Untung bawa kendaraan sendiri, jadi lebih leluasa kelilingnya. Dan untungnya pula, punya kenalan di sana, jadi lumayan dapat informasi tambahan.
Kabupaten Klungkung, merupakan wilayah paling timur dari Bali, letaknya di sebelah Utara Denpasar. Selepas by pass Denpasar dan melintasi sebagian wilayah Gianyar, nyampe juga ke Klungkung. Sebelumnya sempat nyasar juga beberapa kali (ya iya, namanya juga baru pertama).
Memasuki kota Klungkung tepatnya di daerah Semarapura, keheranan muncul. Jalanan sempit-sempit bo! Kotanya relatif sepi. Maklum Kabupaten ini cuma punya empat wilayah kecamatan. Meski demikian, konon katanya, kota ini adalah kota terbesar ketiga setelah Denpasar dan Singaraja.
Seperti tempat-tempat lainnya di wilayah Bali, di Klungkung juga banyak ditemukan patung di setiap bagian kota, terutama di tengah perempatan jalan. Salah satu yang menurutku indah dan besar adalah yang berada di dekat monumen puputan. Oh ya, Klungkung juga terkenal dengan Monumen Puputan ( monumen yang dibangun untuk menghormati peristiwa perang puputan) selain Goa Lawa dan Nusa Penida.
Tidak susah menemukan kantor DPRD Kabupaten Klungkung di kota sekecil itu. Apalagi sebelumnya sudah ada informasi dari teman. Tapi, yang sedikit membingungkan adalah membedakan bentuk bangunan; mana rumah, mana pura, dan mana kantor. Semuanya mirip! Termasuk Kantor DPRD Kabupaten Klungkung.
Di sana aku ditemui oleh Kepala Bagian Keuangan, Bapak Ida Bagus Komang Suradnyana. Klop banget! Secara memang yang direncanakan adalah sharing masalah keuangan. Obrolan mengalir dengan enak. "Pura Giri Semeru Agung" di Senduro Lumajang menjadi kata kunci yang mengawali pembicaraan hingga mensukseskan pembahasan masalah pokok. Akibatnya, waktu satu jam lebih terlewatkan tidak terasa.
Pulang dari Klungkung, kami sempatkan belanja di Pasar Sukowati sebelum menjemput Bosku di Sanur dan kemudian dilanjutkan keliling di Kuta. Benar kan dapat tugas di Bali enak? Kerja berbonus wisata.

Kamis, 14 Mei 2009

Alas Purwo, Bukan Taman Nasional Biasa

Sepengetahuanku dari terbatasnya informasi yang kudengar, tidak ada yang menarik dari Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) di Banyuwangi. Seperti taman nasional lainnya, TNAP pastinya cuma sebentuk areal hutan yang luas dengan beberapa jenis flora dan fauna di dalamnya. Justru kesan mistis yang lebih "mengharumkan" nama Alas Purwo, terlebih beberapa waktu silam, beberapa stasiun TV swasta menjadikan Alas Purwo sebagai obyek program acara mereka yang berkaitan dengan dunia mistis. Tapi itu dulu!
Sekarang, setelah tahu wujud aslinya, kesan negatif dari TNAP ilang dengan sendirinya. Justru kesan mengagumkan yang ada. Bagi petualang sejati, TNAP menawarkan banyak hal yang menarik dan indah!
Memasuki pintu gerbang TNAP, yaitu di pos Rowobendo, pos pertama sebelum menelusuri TNAP, aku sudah demikian terkesan. Jalan setapak dan berbatu begitu rapi, hingga memudahkan perjalanan menelusuri setiap bagian Alas Purwo. Dan, meskipun sepi, tidak ada kesan menyeramkan kok. Menurut petugas di Pos Rowobendo, banyak tempat yang bisa ditemui, antara lain Pura Giri Seloka, Pantai Trianggulasi, Situs Kawitan, Pantai Plengkung, pos pengamatan satwa Sadengan, dan banyak lagi.
Tempat pertama yang ku temui adalah Pura Giri Seloka. Heran juga, di tengah hutan belantara yang sepi, jauh dari pemukiman, dan pastinya jauh dari komunitas hindu di Bali, ada pura yang cukup besar dan luas. Tapi meski di tengah hutan, tempatnya rapi dan bersih lho. Tidak jauh dari pura tersebut, ada Situs Kawitan. Nggak tau tempat itu fungsinya apa, tapi kalo dilihat dari bentuknya yang mirip pura, besar kemungkinan tempat itu milik umat hindu juga.
Setelah menikmati pura dan situs Kawitan, penelusuran dilanjutkan langsung ke Pantai Trianggulasi, cuma 2 km jaraknya dari Pos Rowobendo. Kaget banget pas nyampe sana. Indah bener! Lautnya yang biru kontras dengan pantainya yang berpasir putih. Butiran pasirnya lembut. Menurutku, ini adalah pantai terindah yang pernah kulihat. Keindahannya benar-benar kunikmati sendiri, secara memang sepi banget, cuma ada beberapa orang di sana. Garis tepi pantainya tidak jauh dari hutan, jadi pantainya lumayan teduh. Aku jadi heran, kenapa tempat seindah ini tidak banyak dinikmati oleh pengunjung? Mungkinkah karena lokasinya yang jauh dari jangkauan? Padahal di situ sudah disediakan beberapa fasilitas yang cukup memadai. Ada semacam pendopo dan wisma yang representatif untuk tempat menginap.
Puas menguasai keindahan Pantai Trianggulasi, perjalanan diteruskan ke Sadengan, lokasi pemantauan satwa. Tempatnya semacam padang penggembalaan ternak yang luas yang langsung berbatasan dengan belantara hutan disekelilingnya. Melalui pos pengamatan semacam menara, kita bisa memantau keberadaan banteng jawa, menjangan, dan burung merak. Tapi sayang banget, pada saat kami di sana, satwa-satwa tersebut belum banyak yang muncul di padang penggembalaan, masih di dalam hutan! Mungkin karena masih siang. Menurut petugas yang ada di pondok penelitian, satwa biasanya banyak muncul pada waktu sore menjelang malam. Tapi aku sudah merasa puas kok, sudah bisa melihat satwa tersebut meski dalam jumlah yang kecil.
Rencananya perjalanan diteruskan ke Pantai Plengkung, tapi karena waktunya yang tidak cukup, sementara jaraknya masih 11 km lagi, kami putuskan pulang. Takut kemalaman!
Sebenarnya Plengkung adalah tujuan utama, tetapi meskipun cuma beberapa lokasi saja yang bisa kami singgahi, kami sangat puas. Rasanya, perjalanan yang melelahkan terbayar dengan keindahannya. Sebenarnya TNAP tidak terlalu jauh dari pusat kecamatan terdekat-Kecamatan Tegaldlimo, hanya sekitar 15 km, tetapi karena medan jalan yang rusak, perjalanan tersebut akhirnya harus ditempuh selam 1 jam dengan kendaraan bermotor. Bisa dibayangkan gimana capeknya dong?
Tapi bagaimana pun Alas Purwo sudah bikin aku kesengsem. Suatu saat aku pasti kembali. Plengkung, tunggu kedatanganku.

Jumat, 01 Mei 2009

Bromo bisa sepi?


Pertanyaan tersebut pantas aku lontarkan. Secara, Gunung Bromo adalah tempat wisata yang level-nya sudah tidak lagi nasional, sudah kesohor ke mancanegara coy! Nah, kenapa aku lontarkan pertanyaan tersebut? Ceritanya, satu bulanan yang lalu, iseng saja kami (berdua) ke sana, mumpung minggu, nggak ada kegiatan pula. Berangkatnya pun sudah siang, abis sholat dzuhur, naik motor. Kami pilih jalur Probolinggo-Cemoro Lawang, jalur yang sudah umum dilalui. Sampai di loket pintu masuk wisata Bromo, keheranan mulai muncul. Lah, kok sepi gini? Nggak mungkin donk, hanya gara-gara abis hujan? (Oh ya, sebelumnya memang hujan deras. Kami sempat berteduh selama lebih satu jam di salah satu desa sebelum masuk Cemoro Lawang). Kami teruskan perjalanan ke Pananjakan, lewat lautan pasir sampai ke titik sebelum naik ke puncak Bromo. Tetep sepi! Cuma ada beberapa pengunjung (mungkin nggak lebih dari 10 orang). Selebihnya pada penjual makanan, souvenir, dan penjual jasa tumpangan kuda.

Ketika sudah sampai di atas pun, tetap cuma ada segelintir orang. Woi, ke mana yang lain? Tapi asyik juga ternyata menikmati Bromo dalam keheningan, jadi lebih indah. Tentunya lebih leluasa ambil foto dalam berbagai pose, hehehe.

Kembali ke pertanyaan awal. Kok bisa ya, Bromo jadi sepi? Apakah Bromo cuma ramai pada saat musim liburan atau event-event tertentu? Padahal kalau dibandingkan dengan jenis obyek wisata sejenis seperti Tangkuban Parahu, menurut saya lebih indah. Tapi kenapa Tangkuban Parahu bisa lebih ramai? Apakah fasilitas berpengaruh pada jumlah pengunjung? Mungkin bisa jadi. Memang kalo dilihat lagi, menurut saya, sebagai obyek wisata yang terkategori mendunia, fasilitas-fasilitas (termasuk fasilitas umum) yang disediakan memang kurang layak. Mau cari tempat ibadah atau toilet bersih saja susah! Seharusnya, di sana ada fasilitas lain yang bisa dinikmati, sehingga pengunjung tidak hanya sekedar menikmati indahnya kaldera Bromo, menunggu sun rise maupun sun set, atau attractive-nya upacara Kasada. Mungkin kah di sana dilengkapi pasar wisata, pasar seni ataupun wahana lain seperti di obyek wisata lainnya? Ataukah Bromo hanya sengaja di set up untuk wisata petualang saja? Satu lagi, yang mungkin harus dipikirkan lagi untuk perkembangan wisata bromo ke depan, souvenir! Dari dulu sampai sekarang, tidak ada yang berubah dengan buah tangan yang bisa didapat dari berkunjung ke Bromo. Kalo tidak T-Shirt dan lain-lain dengan embel-embel Wisata Gunung Bromo, paling kita cuma bisa mendapatkan bunga edelweis kering.