Rabu, 17 Juni 2009

Songa Rafting


Bagi yang suka tantangan, menikmati petualangan arung jeram satu kali rasanya belum cukup. Itu lah mengapa saat temen-temen minta ditemani rafting di Songa, tanpa pikir panjang aku menyanggupi, yuk mari! Padahal belum setahun aku menikmati rafting di sana.
Minggu, 14 Juni, berlima kami berangkat, naik motor. Tapi sebelumnya kita sudah booking dulu, untuk memastikan kita masih dapat kesempatan. Kalo kita tidak konfirmasi dan booking terlebih dulu, takutnya pada hari itu sudah penuh oleh rombongan. Nggak lucu dong, sudah jauh-jauh ke sana, tapi kita tidak bisa rafting gara-gara sudah penuh. Pada saat booking, kita juga harus membayar biayanya sekaligus. Kalau kita sudah kenal sama marketingnya, mungkin kita bisa membayar pada waktu kedatangan kita di sana. Syukurlah aku punya kenalan, jadi tanpa bayar dulu, kita sudah dapat tempat. Udah gitu, dapat harga murah pula. Oh ya, harga dihitung per orang sebesar Rp 240.000,-. Sementara, karena aku sudah kenal sama marketingnya, jadi bayarnya lebih kecil dari harga itu.
Pemesanan juga nggak semua diterima. Dilihat dulu jumlah pesertanya. Dalam satu kelompok, untuk satu kapal/perahu minimal harus ada 4 orang, dan maksimal 5 orang, karena kapasitas perahu adalah untuk 6 orang (itu sudah termasuk 1 orang pemandu).
Songa rafting, berada di daerah Tiris, salah satu kecamatan di Kabupaten Probolinggo. Songa rafting terbagi menjadi dua, yaitu Songat atas dan Songa bawah. Songa atas lintasannya lebih panjang, dan jeramnya lebih banyak, sementara Songa bawah lintasannya lebih pendek, dan jeramnya lebih sedikit.
Untuk menuju tempat start rafting, dari base camp Songa, kita dintar kendaraan sejenis pick up dengan bak terbuka, dengan menempuh perjalanan sekitar 15-20 menit, setelah itu kita harus jalan kaki sekitar 1 km. Memang agak capek, tapi semuanya akan terbayar pada saat kita sampai dan mulai mengarungi sungai Pekalen.
Sebelum rafting dimulai, pemandu memberikan trik-trik singkat untuk melakukan rafting yang aman dan benar, termasuk cara menggunakan dayung.
Selama rafting, selain kita mendapatkan pengalaman yang tak terlupakan, kita juga disuguhi pemandangan yang indah. Ada beberapa air terjun yang indah. Lintasan rafting Songa atas adalah sejauh 12 km, kita tempuh sekitar 3 jam. Di tengah perjalanan, sebelum separuh perjalanan, kita diberi kesempatan break untuk sekedar ambil foto. Tempatnya sengaja dipilihkan yang indah untuk kita dapat mengabadikan tempat itu.
Kesempatan berfoto cuma sekitar 30 menit, setelah itu kita melanjutkan lagi perjalanan. Pada separuh perjalanan, kita berhenti lagi untuk beristirahat di tempat yang telah disiapkan. Di situ kita disuguhi minuman dan gorengan hangat. Hmm nyaman banget! Setelah itu perjalanan dilanjutkan lagi sampai pada titik finish dan kembali lagi ke base camp.
Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, kita disuguhi makanan khas pedesaan yang lezat. Makan jadi lahap karena energi kita sudah terkuras habis. Rasa capek baru terasa di situ. Tapi nggak kapok kok kalu harus mengulangi lagi lain waktu.

Bandung Surga Distro


Ke Bandung lagi. Asyik! Tapi bukan karena musim liburan lho. Ini murni urusan kerja. Kali ini tujuannya ke Balai Besar Tekstil, anu di Jalan Ahmad Yani tea. Tapi tetap aja disempetin jalan-jalan di sana. Ya iya lah, rugi dong, sudah sampai di Bandung teu kuriling! Perjalanan jauh dan jarang-jarang kan dapat kesempatan ke Bandung.
Kali ini cuma sorangan wae, jadi kuputuskan naik kereta api, lebih nyaman! Waduh sudah berapa lama ya nggak naik kereta api? Terakhir mungkin tahun 2004, waktu lulus kuliah. Berangkat dari Stasiun Gubeng Surabaya, Rabu 10 Juni, jam 6 sore (biar selama perjalanan bisa tidur, soalnya kalo berangkat pagi susah buat tidurnya). Naik kereta api, tut tut tut...dan sampai di Bandung jam 7 pagi.
Urusan di Balai Besar Tekstil cuma setengah hari. Mau pulang langsung sorenya, kok rasanya capek banget, jadi kuputuskan nginap saja semalam. Dan waktu kosong tersebut ku buat jalan-jalan saja.
Kali ini ku niatkan ubek-ubek distro saja. Soalnya mau ke Pasar Baru pastinya sudah tutup karena memang sudah sore. Mau ke FO juga sudah bosen, karena disamping barang-baranng yang dijual sudah kurang menarik lagi menurutku, ukurannya juga kebanyakan terlalu big size buat aku. Bandung adalah pionir munculnya distro-distro, dan jumlahnya juga lumayan banyak dibanding dengan yang ada di kota-kota lain. Tapi meski demikian, selama ini aku belum pernah belanja atau sekedar liat-liat di distro-distro Bandung.
Karena waktu yang sempit, kuputuskan untuk ke daerah Sultan Agung-Trunojoyo saja. Karena disamping nggak terlalu jauh dari tempat nginap, di situ juga merupakan pusat distro. Ada belasan distro keren di sepanjang jalan di sana. Hampir semua distro yang ada di situ kumasuki. Kebanyakan pengunjungnya adalah anak muda, anak sekolahan dan kuliahan! Tapi ada beberapa juga orang dewasa muda. Kuacungin jempol buat anak-anak Bandung. Koleksi yang mereka tawarkan di setiap distro keren-keren, kreatif! Hampir setiap item dibuat dengan desain dan jumlah yang terbatas, jadi para pembeli tidak merasa membeli barang pasaran dan cenderung pengen balik lagi karena penasaran dengan koleksi-koleksi baru yang selalu update.
Puas keliling, aku putuskan membeli beberapa barang yang aku rasa cocok. Harganya relatif murah, dibanding dengan yang ditawarkan di mal-mal ataupun di FO.


Jumat, 29 Mei 2009

Madakaripura


Dengernya sih sudah lama, sejak SD! Pada pelajaran sejarah dulu pernah diterangkan kalau Air Terjun Madakaripura merupakan bagian dari sejarah kerajaan majapahit, kerajaan terbesar di nusantara. Konon, tempat ini sempat menjadi tempat petilasan Mahapatih Gajah Mada. Dari cerita temen-temen yang pernah ke sana, katanya bagus banget. Tapi lokasinya susah dijangkau katanya.
Nah, baru dua minggu kemarin kesampaian berkunjung ke Madakaripura. Dari beberapa referensi yang aku dapat, Madakaripura berada di daerah Sukapura, kecamatan terakhir sebelum ke Bromo dari Probolinggo. Jadi waktu berangkat, langsung saja menuju ke Sukapura. Tapi pas sampai di Sukapura dan nanya sama orang sana, ternyata lokasi Madakaripura berada di Kecamatan Lumbang. Nggak jauh sih dari Sukapura, cuma 10 menitan gitu. Dari pasar Lumbang sekitar 5 km jaraknya menuju Madakaripura. Ternyata jalan menuju sana bagus kok, tidak seperti kabar yang kudengar sebelumnya. Bahkan minibus juga bisa lewat.
Sampai di pintu masuk lokasi wisata madakaripura, kami disambut patung Patih Gajah Mada menghunus keris di atas monumen sumpah palapa. Retribusi masuk sebesar Rp 2.500,- per orang. Tapi kok nggak ada kupon retribusinya ya? Waduh gimana tuh pertanggungjawabannya?
Di lokasi parkir kendaraan, kita sudah "dijemput" para pemandu. Menuju lokasi air terjun kita wajib didampingi oleh seorang pemandu. Katanya biar nggak tersesat dan menjamin keselamatan kita karena sering terjadi longsor dan banjir mendadak. Mereka juga mau kok bawain barang bawaan kita. Ongkos buat pemandu tidak ditentukan besarnya, seikhlasnya tergantung kita.
Perjalanan menuju air terjun sangat mengasyikkan (menurutku), karena kita melewati aliran sungai dengan bebatuan yang besar dan airnya yang bening dan bersih sepanjang lebih dari 1 km. Sebagian tempat bebatuannya licin dan arus airnya deras dan berjeram. Jadi, itu lah perlunya didampingi pemandu. Pengennya sih waktu itu langsung mandi di situ, secara aku kalau ketemu air bawaannya pengen mandi hehehe. Tapi karena nggak enak sama si pemandunya dan pengen cepat sampai ke air terjun, keinginan mandinya ditunda dulu. Toh nanti di lokasi air terjun bisa mandi sepuasnya. Di sepanjang pinggir sungai, kita bisa menemukan penjual makanan, baik itu yang memakai tenda atau sekedar di bawah rimbunan pohon. Sebelum sampai di air terjun utama, ada beberapa air terjun kecil di beberapa tempat.
Untuk menuju air terjun utama, kita harus melewati tebing batu yang licin, jadi harus ekstra hati-hati. Tapi kesulitan tempuh tersebut, terbayar waktu sampai di lokasi air terjun Madakaripura. Indah banget! Sangat berbeda dari beberapa air terjun yang pernah aku kunjungi, seperti Grojogan Sewu, Baturraden maupun Coban Rondo. Debit airnya lebih besar dan curahan airnya lebih panjang. Berada ke Madakaripura, seakan kita berada di dasar sumur. Tebing batu tempat air terjun berbentuk tabung 3/4 lingkaran. Ini yang membedakan dengan air terjun lainnya. Di sebelah air terjun utama, ada ada air terjun yang lebih sedit debit airnya. "Air Keabadian" kata si pemandu. Konon di situ lah Patih Gajah Mada bersemedi. Waduh.gimana dinginnya ya bertahun-tahun berada di situ.
Agak susah ambil foto di situ, karena disamping tempatnya yang agak gelap, semburan airnya juga ke mana-mana, jadi ggak banyak foto yang bisa diambil. Lebih kurang setengah jam menikmati guyuran air terjun, si pemandu meminta kita segera keluar karena di atas air terjun terlihat mendung. Takut hujan turun, katanya. Kalau hujan sering longsor dan banjir. Pantas saja, di situ banyak gelondongan kayu berserakan. Bekas banjir dan longsoran dari atas mungkin. Demi keselamatan akhirnya nurut sama sama si pemandu. Belum puas sih, tapi gimana lagi, keselamatan lebih penting.


Sabtu, 16 Mei 2009

Tanah Lot, Pantai Atau Bukan?


Setelah tuntas ngelaksanain tugas di Bali selama 2 hari, hari ketiga pulang. Usai breakfast langsung check out meskipun masih jam 8 pagi. Biar perjalanan pulang agak nyantai, gitu! Lebih kurang 1 jam perjalanan kita nyampai Tabanan. Nah pas lihat board "Tanah Lot 40 km", kita putusin ke sana. Refresh dulu ah.
Tidak sulit sampai di Tanah Lot. Lancar jaya! Nah, karena masih pagi, pas sampai di sana masih sepi. Ya iya lah, secara memang baru buka, dan kita pengunjung pertama. Asyik, kita puas-puasin sendiri menikmati Tanah Lot!
Dibanding dengan lima tahun yang lalu, kondisinya lebih rapih dan bersih, terutama pasar wisatanya. Atau karena masih pagi dan kiosnya banyak yang belum buka?
Memasuki gapura pintu masuk ke lokasi pantai (?) keindahan Tanah Lot sudah terlihat. Birunya langit dan air laut yang membentang di atas pura seolah menyilakan setiap orang untuk segera menikmati keindahannya. Selamat datang di Pura Tanah Lot!
Keadaan di dalam juga masih sepi. Selain kami, ada sekelompok orang dengan kostum tradisional bali plus segala ubo rampe-nya menuju ke pura. Kemungkinan akan melaksanakan upacara. Ini lah kelebihan Tanah Lot. Disamping lautnya yang indah, pura di atas karang dengan segala ritual keagamaannya menjadi daya tarik tersendiri bagi orang untuk berkunjung ke sana. Apalagi pada saat menjelang sun rise dan sun set tiba.
Hampir semua bagian dari Tanah Lot kami telusuri. Maklum, lima tahun yang lalu waktu ke berkunjung ke sini, kami tidak sempat menikmati semua bagian dari Tanah Lot karena terbatasnya waktu. Namun setelah puas berkeliling, justru malah timbul pertanyaan. Sebenarnya Tanah Lot ini pantai atau bukan? Dikatakan pantai, tetapi kita tidak bisa menemukan bentangan pasir layaknya pantai-pantai lainnya. Ada sih pasir berwarna hitam, tapi jumlahnya sedikit, cuma di lokasi tertentu saja, tidak membentang di sepanjang tepi pantainya. Bagian yang menjadi tempat pecahnya gelombang di tepian dan tetap bisa kita nikmati airnya adalah berupa bebatuan karang yang landai. Sementara di bagian yang lain adalah tebing-tebing karang yang curam. tapi, apapun penyebutannya, Tanah Lot merupakan obyek wisata di Bali yang paling kesohor.
Puas menikmati keindahan Tanah Lot (tentunya dengan capture foto di berbagai bagian), kita belanja dulu di Pasar Wisata sebelum melanjutkan perjalanan pulang.

Jumat, 15 Mei 2009

Klungkung, Kota Kecil Nan Indah


Dapat tugas ke Bali? Sedap!
Ibaratnya, sambil menyelam minum air. Kerja iya, wisata hayuk.
Ceritanya, sebulan yang lalu bosku ada acara meeting di Sanur. Beliau ngajak aku, bukan untuk mendampingi meeting sih, tapi aku ditugasi ke DPRD Kabupaten Klungkung untuk sharing kerjaan selagi beliau meeting.
Ke Klungkung? Waduh, mana tahu itu di mana? Ke Bali aja baru sekali, itu pun rombongan wisata beberapa tahun yang lalu. Nah sekarang harus sendiri (maksudnya sama sopir) ke sana. Untung bawa kendaraan sendiri, jadi lebih leluasa kelilingnya. Dan untungnya pula, punya kenalan di sana, jadi lumayan dapat informasi tambahan.
Kabupaten Klungkung, merupakan wilayah paling timur dari Bali, letaknya di sebelah Utara Denpasar. Selepas by pass Denpasar dan melintasi sebagian wilayah Gianyar, nyampe juga ke Klungkung. Sebelumnya sempat nyasar juga beberapa kali (ya iya, namanya juga baru pertama).
Memasuki kota Klungkung tepatnya di daerah Semarapura, keheranan muncul. Jalanan sempit-sempit bo! Kotanya relatif sepi. Maklum Kabupaten ini cuma punya empat wilayah kecamatan. Meski demikian, konon katanya, kota ini adalah kota terbesar ketiga setelah Denpasar dan Singaraja.
Seperti tempat-tempat lainnya di wilayah Bali, di Klungkung juga banyak ditemukan patung di setiap bagian kota, terutama di tengah perempatan jalan. Salah satu yang menurutku indah dan besar adalah yang berada di dekat monumen puputan. Oh ya, Klungkung juga terkenal dengan Monumen Puputan ( monumen yang dibangun untuk menghormati peristiwa perang puputan) selain Goa Lawa dan Nusa Penida.
Tidak susah menemukan kantor DPRD Kabupaten Klungkung di kota sekecil itu. Apalagi sebelumnya sudah ada informasi dari teman. Tapi, yang sedikit membingungkan adalah membedakan bentuk bangunan; mana rumah, mana pura, dan mana kantor. Semuanya mirip! Termasuk Kantor DPRD Kabupaten Klungkung.
Di sana aku ditemui oleh Kepala Bagian Keuangan, Bapak Ida Bagus Komang Suradnyana. Klop banget! Secara memang yang direncanakan adalah sharing masalah keuangan. Obrolan mengalir dengan enak. "Pura Giri Semeru Agung" di Senduro Lumajang menjadi kata kunci yang mengawali pembicaraan hingga mensukseskan pembahasan masalah pokok. Akibatnya, waktu satu jam lebih terlewatkan tidak terasa.
Pulang dari Klungkung, kami sempatkan belanja di Pasar Sukowati sebelum menjemput Bosku di Sanur dan kemudian dilanjutkan keliling di Kuta. Benar kan dapat tugas di Bali enak? Kerja berbonus wisata.

Kamis, 14 Mei 2009

Alas Purwo, Bukan Taman Nasional Biasa

Sepengetahuanku dari terbatasnya informasi yang kudengar, tidak ada yang menarik dari Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) di Banyuwangi. Seperti taman nasional lainnya, TNAP pastinya cuma sebentuk areal hutan yang luas dengan beberapa jenis flora dan fauna di dalamnya. Justru kesan mistis yang lebih "mengharumkan" nama Alas Purwo, terlebih beberapa waktu silam, beberapa stasiun TV swasta menjadikan Alas Purwo sebagai obyek program acara mereka yang berkaitan dengan dunia mistis. Tapi itu dulu!
Sekarang, setelah tahu wujud aslinya, kesan negatif dari TNAP ilang dengan sendirinya. Justru kesan mengagumkan yang ada. Bagi petualang sejati, TNAP menawarkan banyak hal yang menarik dan indah!
Memasuki pintu gerbang TNAP, yaitu di pos Rowobendo, pos pertama sebelum menelusuri TNAP, aku sudah demikian terkesan. Jalan setapak dan berbatu begitu rapi, hingga memudahkan perjalanan menelusuri setiap bagian Alas Purwo. Dan, meskipun sepi, tidak ada kesan menyeramkan kok. Menurut petugas di Pos Rowobendo, banyak tempat yang bisa ditemui, antara lain Pura Giri Seloka, Pantai Trianggulasi, Situs Kawitan, Pantai Plengkung, pos pengamatan satwa Sadengan, dan banyak lagi.
Tempat pertama yang ku temui adalah Pura Giri Seloka. Heran juga, di tengah hutan belantara yang sepi, jauh dari pemukiman, dan pastinya jauh dari komunitas hindu di Bali, ada pura yang cukup besar dan luas. Tapi meski di tengah hutan, tempatnya rapi dan bersih lho. Tidak jauh dari pura tersebut, ada Situs Kawitan. Nggak tau tempat itu fungsinya apa, tapi kalo dilihat dari bentuknya yang mirip pura, besar kemungkinan tempat itu milik umat hindu juga.
Setelah menikmati pura dan situs Kawitan, penelusuran dilanjutkan langsung ke Pantai Trianggulasi, cuma 2 km jaraknya dari Pos Rowobendo. Kaget banget pas nyampe sana. Indah bener! Lautnya yang biru kontras dengan pantainya yang berpasir putih. Butiran pasirnya lembut. Menurutku, ini adalah pantai terindah yang pernah kulihat. Keindahannya benar-benar kunikmati sendiri, secara memang sepi banget, cuma ada beberapa orang di sana. Garis tepi pantainya tidak jauh dari hutan, jadi pantainya lumayan teduh. Aku jadi heran, kenapa tempat seindah ini tidak banyak dinikmati oleh pengunjung? Mungkinkah karena lokasinya yang jauh dari jangkauan? Padahal di situ sudah disediakan beberapa fasilitas yang cukup memadai. Ada semacam pendopo dan wisma yang representatif untuk tempat menginap.
Puas menguasai keindahan Pantai Trianggulasi, perjalanan diteruskan ke Sadengan, lokasi pemantauan satwa. Tempatnya semacam padang penggembalaan ternak yang luas yang langsung berbatasan dengan belantara hutan disekelilingnya. Melalui pos pengamatan semacam menara, kita bisa memantau keberadaan banteng jawa, menjangan, dan burung merak. Tapi sayang banget, pada saat kami di sana, satwa-satwa tersebut belum banyak yang muncul di padang penggembalaan, masih di dalam hutan! Mungkin karena masih siang. Menurut petugas yang ada di pondok penelitian, satwa biasanya banyak muncul pada waktu sore menjelang malam. Tapi aku sudah merasa puas kok, sudah bisa melihat satwa tersebut meski dalam jumlah yang kecil.
Rencananya perjalanan diteruskan ke Pantai Plengkung, tapi karena waktunya yang tidak cukup, sementara jaraknya masih 11 km lagi, kami putuskan pulang. Takut kemalaman!
Sebenarnya Plengkung adalah tujuan utama, tetapi meskipun cuma beberapa lokasi saja yang bisa kami singgahi, kami sangat puas. Rasanya, perjalanan yang melelahkan terbayar dengan keindahannya. Sebenarnya TNAP tidak terlalu jauh dari pusat kecamatan terdekat-Kecamatan Tegaldlimo, hanya sekitar 15 km, tetapi karena medan jalan yang rusak, perjalanan tersebut akhirnya harus ditempuh selam 1 jam dengan kendaraan bermotor. Bisa dibayangkan gimana capeknya dong?
Tapi bagaimana pun Alas Purwo sudah bikin aku kesengsem. Suatu saat aku pasti kembali. Plengkung, tunggu kedatanganku.

Jumat, 01 Mei 2009

Bromo bisa sepi?


Pertanyaan tersebut pantas aku lontarkan. Secara, Gunung Bromo adalah tempat wisata yang level-nya sudah tidak lagi nasional, sudah kesohor ke mancanegara coy! Nah, kenapa aku lontarkan pertanyaan tersebut? Ceritanya, satu bulanan yang lalu, iseng saja kami (berdua) ke sana, mumpung minggu, nggak ada kegiatan pula. Berangkatnya pun sudah siang, abis sholat dzuhur, naik motor. Kami pilih jalur Probolinggo-Cemoro Lawang, jalur yang sudah umum dilalui. Sampai di loket pintu masuk wisata Bromo, keheranan mulai muncul. Lah, kok sepi gini? Nggak mungkin donk, hanya gara-gara abis hujan? (Oh ya, sebelumnya memang hujan deras. Kami sempat berteduh selama lebih satu jam di salah satu desa sebelum masuk Cemoro Lawang). Kami teruskan perjalanan ke Pananjakan, lewat lautan pasir sampai ke titik sebelum naik ke puncak Bromo. Tetep sepi! Cuma ada beberapa pengunjung (mungkin nggak lebih dari 10 orang). Selebihnya pada penjual makanan, souvenir, dan penjual jasa tumpangan kuda.

Ketika sudah sampai di atas pun, tetap cuma ada segelintir orang. Woi, ke mana yang lain? Tapi asyik juga ternyata menikmati Bromo dalam keheningan, jadi lebih indah. Tentunya lebih leluasa ambil foto dalam berbagai pose, hehehe.

Kembali ke pertanyaan awal. Kok bisa ya, Bromo jadi sepi? Apakah Bromo cuma ramai pada saat musim liburan atau event-event tertentu? Padahal kalau dibandingkan dengan jenis obyek wisata sejenis seperti Tangkuban Parahu, menurut saya lebih indah. Tapi kenapa Tangkuban Parahu bisa lebih ramai? Apakah fasilitas berpengaruh pada jumlah pengunjung? Mungkin bisa jadi. Memang kalo dilihat lagi, menurut saya, sebagai obyek wisata yang terkategori mendunia, fasilitas-fasilitas (termasuk fasilitas umum) yang disediakan memang kurang layak. Mau cari tempat ibadah atau toilet bersih saja susah! Seharusnya, di sana ada fasilitas lain yang bisa dinikmati, sehingga pengunjung tidak hanya sekedar menikmati indahnya kaldera Bromo, menunggu sun rise maupun sun set, atau attractive-nya upacara Kasada. Mungkin kah di sana dilengkapi pasar wisata, pasar seni ataupun wahana lain seperti di obyek wisata lainnya? Ataukah Bromo hanya sengaja di set up untuk wisata petualang saja? Satu lagi, yang mungkin harus dipikirkan lagi untuk perkembangan wisata bromo ke depan, souvenir! Dari dulu sampai sekarang, tidak ada yang berubah dengan buah tangan yang bisa didapat dari berkunjung ke Bromo. Kalo tidak T-Shirt dan lain-lain dengan embel-embel Wisata Gunung Bromo, paling kita cuma bisa mendapatkan bunga edelweis kering.

Kamis, 30 April 2009

Panasnya Semarang


Dapat tugas ke Ungaran lagi, sendiri! Senang juga sih, secara pada kesempatan yang lalu belum sempet jalan-jalan ke Semarang kota. Padahal antara Ungaran sama Kota Semarang cuma berjarak 1/2 jam perjalanan kalo pake kendaraan. Sengaja berangkat lewat jalur Selatan, karena pengen mampir ke Solo dulu. Lagian perjalanan lewat selatan lebih bisa dinikmati, dari pada lewat pantura. Tau kan jalan pantura gimana?
Sampai terminal Tirtonadi Solo jam 12 malam. Langsung saja cari penginapan terdekat. Nggak susah, karena di sekitar terminal lumayan banyak penginapan. Lumayan murah. Sekedar buat transit dan melepas penat, kupikir nggak masalah lah, yang penting bersih. Abis bersih-bersih diri, langsung ngorok, zzzzzzzzzzz! Maklum donk, abis menempuh perjalanan selama 9 jam!
Jam 6 pagi, cabut dari penginapan. Sebelumnya sudah janji sama rekan di lokasi tujuan mo datang jam 9-an. Nggak enak kan kalo telat. Alhamdulilah dapat bus patas pertama yang menuju Semarang. Tapi sial, nggak lama setelah keluar terminal, bus mogok dan harus ganti bus berikutnya. Waduh, mudah-mudahan bukan pertanda sial saja, pikirku dalam hati. Untung nggak lama, bus berikutnya datang, jadi perjalanan nggak terlalu lama tertunda. Masuk Salatiga, pemandangan mulai indah. Daerah pegunungan dengan hawa yang sejuk memang selalu menyenangkan.
Lebih cepat 1/2 jam dari waktu janjian saat sampai di lokasi tujuan. Dapat kesan rajin gitu deh. Acara di sana selesai jam 10.30. Kesempatan buat jalan-jalan ke Kota Semarang! Paling tidak nyempetin beli oleh-oleh buat teman kantor. Sama temen disarankan naik mini bus agar bisa turun di Simpang Tugu. Saran sudah kujalankan, tapi setelah sekian lama perjalanan kok bus nggak masuk kota? Waduh, busnya bermasalah nih, kok malah langsung bablas lewat tol menuju terminal Terboyo. Ya udah, sekalian saja turun terminal. Sial dua kali hari ini! Udah gitu, serasa stres pas masuk terminal. Terminal level propinsi kok masih kayak gini? Panas, semrawut, kotor, bau, dan air menggenang di mana-mana! Lho, ini terminal atau empang ya?
Nggak pake lama berada di terminal, langsung cari bus jurusan Simpang Lima.
Sampai di Simpang Lima, aku turun dan ganti naik becak menuju pusat oleh-oleh di sepanjang jalan Pandanaran. Ya Allah, Semarang Panas banget! Perasaan, Surabaya saja yang menurutku sudah panas, masih kalah panas. Udah gitu, semrawutnya bikin pusing! Tau kayak gini, niatku jalan-jalan langsung ilang. Selesai belanja oleh-oleh (Bandeng dan lumpia, wajib hukumnya dibeli), langsung aku cabut balik lagi ke terminal. Berhubung tempat naik bus kota yang ke arah terminal Terboyo dekat sama Lawang Sewu, capture dulu lah salah satu icon Kota Semarang tersebut. Lumayan buat bukti kalau sudah pernah nyampai sana.

Selasa, 21 April 2009

Petirtaan Jalatunda


Sudah lama banget saya pengen ke Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman di Trawas-Mojokerto, sejak temenku dulu cerita kalo tempatnya bagus. Kita malah sempet berencana mau ke sana bareng. "Di sana ada pusat pelatihan pembuatan barang daur ulang", katanya. Seneng saja dengernya. Apalagi waktu itu, adalah awal maraknya daur ulang. Terlebih, beberapa bulan yang lalu saya membaca artikel tentang komunitas sehat indonesia yang berpusat di PPLH Seloliman. Jadi bertambah minat saya untuk segera pergi ke sana.
Nah, dua minggu yang lalu kesempatan itu datang. Sampai juga saya ke sana. Tapi sebenarnya waktu itu saya tidak berencana mau ke sana. Ceritanya, saya dan teman ada keperluan ke Surabaya. Pulangnya, seperti biasa kami lewat Gempol. Nah, waktu kami sampai di pertigaan Kejapanan, terlihatlah papan petunjuk lokasi PPLH Seloliman. Langsung deh kami berniat ke sana saat itu juga. Mumpung belum terlalu sore. Apalagi cuma 15 km jaraknya.
Tidak terlalu sulit untuk sampai ke lokasi PPLH Seloliman. Tapi pada saat sudah sampai di lokasi, tepat di depan pintu gerbangnya, kami justru ragu, kok sepi ya? Akhirnya kami memutuskan untuk tidak jadi masuk, tapi malah meneruskan perjalanan ke atas, sampai di petilasan Jalatunda.
Petilasan Jalatunda, lebih tepatnya petirtaan Jalatunda adalah peninggalan jaman Raja Erlangga. Diperkirakan dulu adalah tempat peristirahatan beliau. Petirtaan Jalatunda berupa bangunan batu berukir layaknya candi yang di sebalah kanan dan kirinya terdapat pancuran air. Sementara di sebelah depan terdapat kolam yang airnya berasal dari pancuran air tersebut. Kolam tersebut penuh berisi beberapa jenis ikan air tawar. Memang tampak lebih indah. Tapi kok malah jadi tidak enak ya bau airnya?
Amis!
Ngomongin masalah air pancuran tadi, konon kabarnya bagi yang sudah mandi di sana akan tetap awet muda. Percaya nggak percaya sih. Tapi kalau kita sudah merasakan segarnya air pancuran tersebut, (tentunya kami juga mencoba mandi di situ) masuk akal juga sih kabar tersebut. Air tersebut berasal dari mata air yang berada di lereng Gunung Penanggungan pada ketinggian 525 m dpl. Jadi wajar kalau airnya masih jernih dan bersih.
Di depan kolam tadi terdapat beberapa arca dan
lumpang batu kuno serta potongan-potongan batu berukir yang disusun rapi dalam satu area. Kemungkinan batu-batu tersebut adalah bagian-bagian dari candi. Di dekat lokasi tersebut terdapat bangunan tertutup yang di dalamnya banyak disimpan batu-batu maupun arca yang kemungkinan juga bagian dari candi kuno (sengaja disimpan terkait dengan nilai sejarahnya mungkin). Sementara pada dinding bangunan tersebut terdapat beberapa foto artefak yang pernah ditemukan di lokasi tersebut).
Di bagian agak ke atas, terdapat bangunan pendopo terbuka yang dijadikan tempat istirahat bagi para pengunjung. Tidak salah jika dulu Raja Erlangga menjadikan tempat itu sebagai tempat istirahat. Lokasinya nyaman buat kita untuk sejenak meninggalkan suasana ramai dan bising di kota, termasuk kami. Meskipun tidak jadi berkunjung ke PPLH Seloliman, tapi kami puas kok. Suasa saat, pasti kami kembali, tidak ke petirtaan Jalatunda, tapi ke PPLH Seloliman.

Senin, 20 April 2009

Sambal Cibiuk


Akhir bulan lalu kami dapat tugas kantor ke Bandung. Wuih senengnya! Akhirnya nyampe juga ke Bandung lagi, setelah terakhir saya ke sana bulan Maret tahun lalu. Kami berenam, memilih naik kendaraan sendiri dari pada naik kereta, dengan pertimbangan akan lebih leluasa berkeliling, disamping karena harus mampir dulu ke Pati pulangnya. Tidak banyak yang berubah dari Bandung, tetap indah dan macet! Setelah tugas kantor selesai, rugi dong kalo nggak jalan-jalan, apalagi waktunya masih ada. Dan, belanja pasti hukumnya wajib kalo lagi di Bandung. Pasar baru, Dago, dan Cihampelas habis kita obrak-abrik. Hehehe... Emang Satpol lagi tugas!
Pulang dari Bandung, kita memutuskan lewat jalur utara. Disamping karena memang mau ke Pati, kami juga pingin mampir ke Sumedang untuk cari Tahu Sumedang yang fresh from open! Muas-muasin beli tahu sumedang, kami jadi lupa kalo belum makan sejak keluar dari Bandung. Akhirnya, perlahan kami jalan sambil lirik kanan-kiri cari tempat makan. Chiiiiittt!!! Mobil di-rem mendadak, takkala kami melihat Rumah Makan Sambal Cibiuk di seberang kanan jalan. Saya langsung ingat acara kuliner di Trans TV yang mengupas makanan yang satu ini. Hm, pasti enak nih. Entah lah ini lagi di Desa Cibiuk atau tidak. Tapi setahu saya, Desa Cibiuk ada di Garut.
Wuih keringat langsung ngocor setelah makan. Pedes pisan euy! pantesan, cabe rawitnya menumpuk! Rasanya sedikit aneh sih, tapi tetap hendos gandos lah. Ketika saya coba tanya ke salah satu pelayan gimana resepnya, cuma jawaban nggak tau yang saya dapat. Rahasia dagang kali. Tapi kalo ditelaah dari rasanya, selain cabe rawit dan tomat sebagai komponen pokok, ada aroma kencur, jeruk nipis, kemangi, terasi dan bawang putih.
Untuk pendamping sambal cibiuk, kayaknya sama saja dengan lalapan khas Sunda lainnya. Ada Labu siam, daun sla, kacang panjang, dan mentimun. Lauknya bisa pilih ayam goreng, ikan goreng, ikan asin, tempe dan tahu goreng. Sambal cibiuk ada dua macam, sambal cibiuk hijau dan merah. Sama saja, bedanya cuma pengunaan tomatnya, tomat hijau atau tomat merah. Terserah tinggal pilih yang mana.

Eksotisme Pulau Sempu


Eksotis!
Itulah ungkapan pertama pada saat sampai di Segara Anakan, Pulau Sempu. Nggak salah jika, salah satu televisi swasta menayangkan lokasi ini dalam salah satu program acaranya. Segara Anakan, sebuah laut plus pasir putihnya dalam sebuah pulau. Dalam bahasa Jawa Segara berarti Laut, sedangkan Anakan berarti Anak/Kecil. Segara Anakan berair tenang, kontras dengan Samudra Hindia di luar pulau yang berombak besar. Air Segara Anakan bersumber dari deburan ombak Samudra Hindia yang masuk melalui lobang karang di salah satu sisi karang yang mengelilingi Pulau Sempu. Keindahan Segara Anakan terletak ada pada airnya yang tenang dan jernih, sehingga biota di dalamnya terlihat. Bentangan pasir putih di salah satu sisinya semakin menambah keindahan Segara Anakan.
Segara Anakan dapat dicapai setelah menempuh perjalanan kaki selama lebih kurang satu jam dalam hutan cagar alam Pulau Sempu. Buat mereka yang tidak terbiasa jalan kaki, pastilah akan merasa capek. Tapi jika kita menikmati idahnya isi hutan tersebut, dijamin nggak bakal capek. Nggak perlu takut nyasar, karena sudah ada jalur tracking. Takut binatang buas? Nggak usah takut! Berdasarkan pengalaman, jarang ditemui binatang buas dalam hutan Pulau Sempu.
Para pengunjung Segara Anakan, biasanya datang berkelompok untuk menginap di sana sambil mendirikan kemah, karena keindahan Segara Anakan semakin lengkap dinikmati saat malam hari dalam keheningan yang sepi terlebih saat bulan purnama, sambil menikmati ikan bakar.
By the way, Pulau Sempu terletak di kawasan wisata Pantai Sendang Biru di Malang Selatan. Lebih kurang 2 jam perjalanan kendaraan bermotor dari Kota Malang. Untuk mencapai Pulau Sempu, dari Sendang Biru kita bisa nyeberang sekitar 10 menit dengan menggunakan perahu motor atau perahu dayung yang banyak disewakan di sana. Biaya sewa perahu motor sekitar 100 ribuan. Ketika sampai di Pulau Sempu, kita tinggal janjian sama tukang perahunya, mau dijemput kapan. Mau Bawa ikan untuk di bakar di Segara Anakan? Jangan kuwatir! Kita bisa dengan mudah mendapatkannya di TPI atau yang dijajakan oleh nelayan. Dijamin masih seger!